Tegal’ Jateng, tipikorinvestigasinews.id. Aroma busuk praktik korupsi kembali tercium di Kabupaten Tegal Setelah pada 2024 mencuat kembali dugaan penyimpangan anggaran desa sebesar Rp565 juta yang hingga kini masih menjadi sorotan hukum, kini publik kembali dikejutkan dengan kasus baru di Desa Wanasari, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Kali ini, Kepala Desa bersama Carik diduga kuat terlibat dalam praktik suap berkedok jual beli proyek.
Gerhana Indonesia mengungkap bahwa pihaknya telah mengantongi alat bukti yang tidak bisa dianggap remeh. Bukti tersebut meliputi struk transfer bank, rekaman percakapan telepon, hingga kesaksian dari seorang pihak berinisial H. Dalam pengakuannya, H menyatakan telah mentransfer sejumlah dana kepada Kepala Desa dengan janji imbalan berupa pekerjaan fisik, mulai dari proyek pengaspalan hingga kegiatan lainnya.
Lebih mengejutkan, salah satu rekaman justru memperdengarkan suara Kepala Desa yang mengakui menerima transfer sebesar Rp25 juta.
Dari jumlah tersebut, Rp15 juta dikembalikan, sementara Rp10 juta secara gamblang disebut sebagai “fee” dari pengadaan lampu jalan. Fakta ini, menurut Gerhana Indonesia, sudah cukup menunjukkan adanya praktik suap yang sistematis.
Ketua Satgasus Gerhana Indonesia DPD Jawa Tengah, Ms Ree, mengecam keras praktik tersebut.
“Bukti-bukti ini sangat jelas. Ada aliran uang, ada pengakuan, dan ada saksi. Ini bukan sekadar dugaan, tapi indikasi kuat terjadinya tindak pidana suap. Gerhana Indonesia segera melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum agar diproses sesuai ketentuan UU Tipikor,” tegas Ms Ree.
Ms Ree juga menyinggung hasil pemeriksaan dari Inspektorat Kabupaten Tegal. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) disebutkan bahwa Kepala Desa Wanasari diminta mengembalikan anggaran karena ditemukan penyimpangan.
“Jika Inspektorat sudah menyatakan ada kerugian yang harus dikembalikan, maka kita patut mengawalnya. Tidak tertutup kemungkinan proyek-proyek berikutnya akan dipangkas atau disunat hanya untuk menutupi anggaran yang sudah dikorupsi sebelumnya,” ujarnya tajam.
Menurutnya, praktik semacam ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat desa.
“Bagaimana mungkin pembangunan bisa benar-benar membawa manfaat, kalau sejak awal sudah dijadikan ajang permainan? Aparat penegak hukum tidak boleh diam.
Hukum harus ditegakkan secara adil, bukan hanya untuk rakyat kecil, tapi juga bagi pejabat desa yang menyalahgunakan jabatannya,” tambahnya.
Gerhana Indonesia menilai, kasus di Desa Wanasari ini semakin mempertebal catatan hitam pengelolaan dana desa di Kabupaten Tegal. Dugaan penyimpangan Rp565 juta pada 2024 mestinya menjadi alarm keras.
Namun, fakta bahwa kasus baru kembali terjadi di tahun berikutnya, justru menunjukkan adanya pola pembiaran, lemahnya pengawasan, bahkan potensi kongkalikong.
“Kalau aparat penegak hukum hanya diam, itu artinya mereka ikut melindungi kejahatan ini. Desa tidak boleh dijadikan ladang bancakan elit lokal. Jika praktik busuk ini tidak segera diberantas, jargon pembangunan desa hanyalah kebohongan belaka,” tutup Ms Ree.
Kasus dugaan suap di Desa Wanasari kini menjadi ujian serius bagi integritas aparat penegak hukum. Publik menanti, apakah hukum benar-benar ditegakkan secara transparan, atau justru kembali berhenti di tengah jalan.
(slamet)