OPINI/KOLOM :Transformasi Ambisi Menjadi Pertumbuhan Berkelanjutan Melalui Mindfulness Keuangan.

____________________________________________

Jabar ! Tipikorinvestigasinews.id 03/11/2025
Penulis :Shilla Khairani Putri

(Mahasiswa Program Studi Manajemen Bisnis Syariah Universitas Islam Tazkia Bogor)
Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh gelombang perusahaan rintisan (startup) yang sempat bersinar namun akhirnya merumahkan karyawan atau bahkan tutup. Di sisi lain, perusahaan mapan seperti Sriwijaya Air juga kolaps karena beban utang yang tidak tertahankan. Di kancah global, Silicon Valley Bank tumbang akibat strategi investasi yang gegabah. Lalu, apa sebenarnya akar masalah dari fenomena yang berulang ini? Seringkali, masalahnya bukan terletak pada kurangnya ambisi, tetapi justru pada kelebihan ambisi yang telah berubah menjadi kerakusan buta. Di sinilah filosofi “mindfulness” atau kesadaran penuh—konsep yang akrab di dunia psikologi—menawarkan perspektif segar untuk manajemen keuangan perusahaan. Berbagai contoh dari dunia yang berbeda ini menyimpan benang merah yang sama: kegagalan dalam mindfulness finansial.

Dalam dinamika bisnis yang penuh kompetisi, ekspansi sering dianggap sebagai suatu keharusan. Namun, terdapat batas yang sangat tipis antara sebuah ambisi strategis dan kerakusan yang membabi buta. Ambisi yang sehat lahir dari fondasi yang kuat: analisis data yang akurat, perencanaan yang matang, serta pemahaman yang mendalam terhadap kapasitas dan batas kemampuan internal perusahaan. Sebaliknya, kerakusan justru digerakkan oleh faktor-faktor emosional seperti euforia sesaat, ego untuk terlihat hebat, dan kecemasan akan tertinggal dari pesaing. Kombinasi berbahaya inilah yang kemudian menjerumuskan banyak perusahaan ke dalam jebakan klasik, seperti mengajukan pinjaman melampaui batas kemampuan mereka, melakukan akuisisi tanpa nilai sinergi yang jelas, atau memaksakan diri menjalankan proyek yang arus kasnya belum positif, sehingga justru mengancam sustainability mereka di tengah jalan. Proses jatuhnya biasanya bertahap. Dimulai dari kesuksesan awal yang memupuk kepercayaan diri berlebihan. Lalu, muncul rasa kompetitif yang tidak sehat, di mana pertumbuhan dianggap sebagai perlombaan. Fase kritisnya adalah ketika ego pemimpin mulai mendikte keputusan keuangan, mengabaikan sinyal peringatan dari tim dan data. Pada titik ini, ambisi telah berubah menjadi kerakusan yang tidak lagi mengenal batas.

Bacaan Lainnya

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan, salah satu penyebab utama kegagalan usaha mikro dan kecil (UMK) adalah masalah permodalan dan pengelolaan keuangan. Persoalan serupa terjadi di level korporasi. Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kenaikan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di sektor-sektor yang sebelumnya mengalami booming. Ini adalah alarm yang nyata. Dalam dunia keuangan, kerakusan membutakan mata dari prinsip dasar: bahwa profit di atas kertas tidak ada artinya jika tidak diiringi oleh arus kas yang sehat. Banyak perusahaan “kaya” di laporan laba rugi, tetapi “miskin” di rekening banknya—sebuah ilusi yang berbahaya. Data BPS dan OJK ini bukan sekadar angka statistik. Ia adalah bukti nyata dari ‘mentalitas kerakusan’ yang merasuki semua level bisnis. Para pelaku UMKM mungkin tergoda meminjam untuk ekspansi tanpa perhitungan, sementara korporasi besar terjebak dalam proyek mercusuar yang tidak menghasilkan arus kas. Akar masalahnya sama: hilangnya kesadaran untuk berhenti sejenak dan menilai ulang kondisi riil.

Lantas, bagaimana “mindfulness” hadir sebagai solusi?

Mindfulness dalam konteks ini bukanlah meditasi di tengah rapat direksi. Ia adalah pendekatan mental dan budaya perusahaan yang menekankan pada:
1. Kesadaran Penuh akan Kondisi Riil. Sebelum memutuskan ekspansi, apakah kita benar-benar memahami kesehatan arus kas, rasio utang, dan batas toleransi risiko kita? Mindfulness mengajak kita untuk jujur membaca sinyal dari dalam, bukan hanya tergoda oleh peluang di luar.
2. Fokus pada Keberlanjutan, Bukan Cepat Kaya. Seperti kata pakar manajemen, Peter Drucker, “Long-range planning does not deal with future decisions, but with the future of present decisions.” Sebuah keputusan keuangan harus dinilai dari dampaknya 5 atau 10 tahun ke depan, bukan hanya pada kuartal berikutnya.
3. Pengendalian Diri untuk Berkata “Tidak”. Kecerdasan finansial terbesar terkadang terletak pada keberanian menolak peluang yang menggiurkan tapi penuh risiko. Dalam bukunya “The Psychology of Money”, Morgan Housel menekankan bahwa kesuksesan finansial lebih sering tentang pengendalian diri dan perilaku, daripada sekadar kepintaran teknis.

Studi kasus dari kesuksesan PT Astra International Tbk di era awal dapat menjadi pelajaran. Mereka berkembang dengan pesat tetapi didukung oleh disiplin keuangan yang ketat dan ekspansi bertahap yang terukur. Mereka tidak terburu-buru, tetapi memastikan setiap langkah memiliki fondasi yang kokoh. Bandingkan dengan perusahaan yang gandrung membangun gedung pencakar langit yang megah, sementara operasionalnya justru terbebani oleh biaya pemeliharaannya.

Sebaliknya, kisah perusahaan WeWork menjadi contoh sempurna bagaimana kerakusan menghancurkan nilai. Dengan valuasi yang pernah menyentuh $47 miliar, WeWork terobsesi pada ekspansi global yang hiper-agresif. Mereka mengabaikan model bisnis dasar, membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak esensial, dan akhirnya nyaris bangkrut. Visi tanpa mindfulness bagai mobil kencang tanpa rem—akhirnya hancur berantakan. Dua studi kasus yang bertolak belakang ini menunjukkan betapa krusialnya pendekatan mindfulness dalam keputusan finansial.

Dengan demikian, sudah saatnya para pemimpin bisnis dan pengelola keuangan tidak hanya mahir membaca spreadsheet, tetapi juga melatih “kesadaran finansial”. Beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan adalah:
1. Implementasi “Financial Check-In” Rutin: Mengadakan pertemuan rutin khusus untuk membahas laporan keuangan dengan suasana tenang dan reflektif, bukan hanya saat krisis. Misalnya, dalam ‘Financial Check-In’, yang didiskusikan bukan hanya ‘Apakah kita untung?’, tetapi pertanyaan yang lebih mendalam seperti ‘Apakah profit ini berasal dari pelanggan yang berulang atau proyek sekali pesan?’ atau ‘Bagaimana jika pembayaran tertunda 30 hari, apakah gaji karyawan tetap lancar?’. Pertanyaan-pertanyaan reflektif semacam ini yang memupuk kesadaran.
2. Mengembangkan Skenario “Terburuk”: Sebelum menyetujui sebuah investasi besar, wajib membuat analisis stress-test untuk melihat ketahanan perusahaan jika kondisi terburuk terjadi.
3. Membangun Budaya “Keberlanjutan Finansial”: Menghubungkan setiap insentif dan bonus tidak hanya pada pencapaian laba, tetapi juga pada indikator kesehatan keuangan jangka panjang seperti stabilitas arus kas dan rasio utang yang prudent.

Oleh karena itu, mari kita mulai dari diri sendiri dan tim kita. Lain kali ada peluang besar yang menggoda, tanyakan pada diri: ‘Ini ambisi atau kerakusan?’. Jawaban jujur dari pertanyaan sederhana itu bisa menyelamatkan masa depan perusahaan.

Pada akhirnya, mengelola keuangan perusahaan adalah seni menyeimbangkan naluri untuk maju dengan kebijaksanaan untuk bertahan. Di panggung bisnis yang penuh euforia dan ketidakpastian ini, mindfulness bukanlah sebuah konsep lemah, melainkan kekuatan tersembunyi. Ia adalah penjaga gawang yang mencegah ambisi kita yang paling liar dari terjun bebas ke jurang kerakusan. Dengan kesadaran penuh, kita bukan menghindari pertumbuhan, melainkan memastikan bahwa setiap langkah ekspansi yang kita ambil adalah langkah yang kuat, sehat, dan berkelanjutan.

Pewarta :Bukhari.MH.

Disclaimer Redaksi

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, Shilla Khairani Putri, mahasiswa Program Studi Manajemen Bisnis Syariah Universitas Islam Tazkia Bogor. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan atau kebijakan resmi redaksi Tipikorinvestigasinews.id.
Redaksi berhak melakukan penyuntingan seperlunya tanpa mengubah substansi tulisan, demi menjaga kesesuaian dengan kaidah jurnalistik dan etika publikasi.
Segala data, analisis, dan pendapat yang disampaikan bertujuan untuk memberikan wawasan dan bahan refleksi, bukan sebagai nasihat keuangan, hukum, atau investasi.

Editor :Tim Red

TIPIKOR INVESTIGASI NEWS. “Tegakkan Keadilan, Perjuangkan Kebenaran!”

Pos terkait

banner 468x60 ____________________________________________banner 728x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *